Senin, 20 Mei 2013

Profil Calon Presiden Alternatif Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso-1 : PANGLIMA YANG TEGAS DAN PEDULI HAK-HAK RAKYAT


PANGLIMA YANG TEGAS DAN PEDULI HAK-HAK RAKYAT
 
Sejak tak lagi  menjabat sebagai Panglima TNI, nama Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso memang jarang terdengar. Namun seperti pepatah dalam militer ; soldier never die. Pengabdian seorang tentara tak akan pernah mati! Begitulah Djoko Santoso.  Setelah memasuki masa purnawira, tahun 2010, Djoko memang tak pernah lagi muncul ke permukaan, apalagi tampil di panggung politik. Tapi jiwa pengabdiannya tetap menyala. Ia memasuki bidang pengabdian lainnya sebagai  Dewan Pembina IPHI (Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia), Ketua Dewan Pembina Forsekdesi (Forum Sekretaris Desa Seluruh Indonesia), dan  mengurus PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia), hingga dia mengakhiri jabatan Ketua Umum PBSI awal Desember 2012 lalu.

Eksistensinya sebagai seorang tokoh militer yang telah menorehkan banyak prestasi dalam perjalanannya di TNI, membuat pria kelahiran Solo, 8 September 1952 ini tak mudah dilupakan oleh prajurit TNI khususnya, dan rakyat pada umumnya. Salah satu kisah heroik  yang pernah dilakoninya adalah ketika terjadi konflik di Ambon. Kekerasan horizontal yang meruncing pada pertikaian antaragama sejak 1999 terus berlarut dan telah menelan banyak korban jiwa serta harta benda. Bahkan, konflik antarpenduduk sipil tersebut melibatkan keberpihakan sejumlah oknum aparat keamanan, baik dari militer maupun kepolisian, kepada kelompok-kelompok agama.

Dalam kondisi seperti itulah, Panglima Divisi II Kostrad, yang juga sebagai Dan PPRC TNI, yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur, Mayjen TNI Djoko Santoso, ditunjuk oleh pimpinan TNI untuk menjabat Pangdam XVI/Pattimura, menggantikan Brigjen TNI Moestopo.

Sesuai Surat Keputusan Panglima TNI No 388/V/2002, tertanggal 27 Mei 2002, Djoko harus memikul tugas berat: sebagai Pangdam ia sekaligus menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan (Pangkoopslihkam) Maluku. Sebelumnya, sudah tiga panglima yang ditunjuk, tetapi situasi dan kondisi pemulihan keamanan tak juga reda.

Pada Kamis, 30 Mei 2002, Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Endriartono Sutarto yang datang ke Ambon bersama para asistennya memimpin langsung serah terima jabatan Pangdam XVI/Pattimura dari Brigjen TNI Moestopo kepada Mayjen TNI Djoko Santoso.

Usai acara, Pangdam XVI/Pattimura yang baru, Mayjen TNI Djoko Santoso yang juga Pangkoopslihkam, mengatakan kepada pers bahwa operasi pemulihan keamanan di Maluku tak ada artinya jika tidak ada kesadaran masyarakat untuk menghentikan konflik. “Semuanya berpulang kepada masyarakat, mau tidak menghentikan konflik,” kata Djoko.

Mengenai tindakan yang akan dilakukannya, jenderal bintang dua itu, menegaskan, tergantung situasi yang berkembang. “Kita sudah siapkan spektrum bertindak, dari persuasif hingga represif,” ujarnya.

Sore harinya, setelah rombongan KSAD meninggalkan Ambon, Djoko langsung menggelar rapat. Seluruh komandan satuan militer dan kepolisian serta para asistennya dikumpulkan. “Saat itu instruksi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Maluku sangat tegas,” kenang Mayjen TNI M. Fuad Basya, kini Staf Ahli Panglima TNI, yang ketika itu menjabat sebagai Asrena Kodam XVI / Pattimura.

“Mulai malam nanti, saya tidak mau mendengar tembakan dari pos tentara maupun pos polisi. Kalau sampai ada tembakan, saya akan serang pakai panser. Seluruh aparat keamanan harus menjaga keamanan tanpa melakukan penembakan,” perintah Djoko sebagaimana dikutip Fuad Basya.

Sebelumnya, Djoko memperoleh laporan intelijen, bahwa terdapat keberpihakan oknum-oknum aparat keamanan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik, sehingga situasi keamanan semakin kisruh dan sulit terkendali.

Malam itu juga, Djoko memimpin langsung di lapangan, dan menginstruksikan patroli panser di basis-basis pertikaian. “Hasilnya, mulai malam itu juga penembakan-penembakan langsung berhenti,” tegas Fuad.

Keterlibatan oknum-oknum aparat keamanan dalam konflik, memang membuat masyarakat semakin ketakutan. Karena konflik berdarah telah berubah menjadi konflik senjata. Antar kelompok masyarakat yang bertikai, masing-masing mempunyai dukungan dari oknum-oknum aparat militer dan kepolisian. Djoko tak ingin kondisi tersebut terus berlarut, hingga situasi keamanan kian runyam. Bahkan, selaku Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Maluku, sikap dan langkah tegas Djoko mencerminkan keberaniannya untuk bertindak secara cepat dan tepat.

Fuad Basya mengungkapkan, menghadapi situasi kritis tersebut, Djoko mampu memegang kendali komando tanpa pandang bulu. Ia meminta seluruh oknum aparat yang terlibat dalam keberpihakan terhadap salah satu kelompok agama yang bertikai, apakah itu Islam atau Kristen, maka harus segera diproses secara hukum hingga ditahan.

Pada awalnya sikap Djoko tersebut memperoleh protes dari kelompok muslim, karena terdapat oknum prajurit yang memihak Islam diproses hukum. Tetapi Djoko tak peduli, dan meminta proses hukum terus berlanjut.

“Tidak, saya memang muslim. Tetapi saya ditugaskan di sini sebagai panglima. Panglima itu tidak untuk Islam atau Kristen, saya panglima untuk semuanya,” tegas Djoko, seperti dikutip kembali oleh Fuad.

Konflik Maluku

 Ketegasan Djoko Santoso selaku Panglima Kodam XVI/Pattimura juga terlihat dari keberpihakannya terhadap rakyat maupun hak-hak rakyat. Ketika situasi dan kondisi keamanan Maluku mulai tenang, Panglima Djoko Santoso mulai menerima banyak pengaduan dari masyarakat perkampungan yang berada di sekitar Batalyon 733, Ambon. Satu di antaranya, sulitnya mendapatkan air bersih.

 Menerima laporan itu, Djoko langsung menugaskan Asrena Kodam XVI/ Pattimura, Kolonel Fuad Basya, dan staf untuk menapaki gunung mencari sumber air. Setelah ditemukan, Djoko melihat langsung ke atas gunung, dan memerintahkan para prajuritnya membuat bak penampung yang besar, lantas disalurkan dengan pipa besar ke batalyon, hingga dialirkan melalui keran-keran masuk ke rumah-rumah perkampungan penduduk di sekitar Batalyon 733. “Sejak itu rakyat melihat perhatian Panglima terhadap rakyat sangat besar. Mereka lantas banyak menyampaikan pengaduan-pengaduan,” kenang Basya.

 Salah satu pengaduan yang sangat terkesan bagi Basya adalah mengenai status tanah yang digunakan Rindam XVI/Pattimura di kawasan Sulih, di pinggir Kota Ambon. Sejumlah anggota masyarakat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya sejak puluhan tahun lalu. Setelah dilakukan cek administrasi dan fisik tanah, ternyata benar. Bahwa tanah yang digunakan sebagai markas Rindam bertahun-tahun tersebut adalah milik rakyat.

“Panglima lantas memutuskan untuk memberikan ganti rugi kepada rakyat yang memiliki tanah tersebut, dengan harga yang disepakati kedua belah pihak, sehingga status dan sertifikatnya bisa berubah menjadi milik TNI AD,” kata Fuad Basya.

 Perhatian Djoko terhadap hak-hak rakyat juga terlihat ketika ia ditarik dari Maluku untuk menjabat Pangdam Jaya. Fuad Basya yang juga ditugaskan menjadi Aslog Kodam Jaya mengisahkan, suatu saat Pangdam Jaya Mayjen TNI Djoko Santoso memperoleh laporan bahwa sebagian lahan tanah yang digunakan Detasemen Rudal TNI AD di Cikupa, Kabupaten Tangerang, diklaim oleh anggota masyarakat sebagai miliknya.

 “Ada tanah rakyat yang masuk ke wilayah Den Rudal, kemudian mereka minta dikembalikan. Setelah dipelajari, staf mengatakan, ini persoalan biasa, setiap pergantian panglima mereka mengadukan tanah tersebut. Jadi gak usah ditanggapi. Tapi saya tetap laporkan ke Pangdam. Beliau minta ditinjau ke lokasi untuk dilakukan cek administrasi serta fisik. Setelah dicek sertifikatnya, ternyata lahan tersebut betul milik TNI AD. Tetapi setelah dilakukan cek fisik, memang ada sebagian tanah rakyat, sekitar 4.000 meter, yang masuk dalam pagar detasemen. Kondisi ini sudah berlangsung lama dan sudah berganti-ganti panglima. Lantas pak Djoko instruksikan kepada saya, hak-hak rakyat harus dikembalikan. Akhirnya disepakati pembelian tanah tersebut dari pemiliknya seharga 30% dari harga pasar,” papar Fuad.

 Ketika Djoko menjabat sebagai KSAD dan Panglima TNI, ia senantiasa memperhatikan kasus-kasus tanah yang muncul di lingkungan TNI. Sikap Djoko sangat tegas, hak-hak rakyat harus dikembalikan. Demikian pula ketika terjadi bencana alam, baik tsunami Aceh, Nias, Ambon, dan gempa di Yogyakarta, Djoko mengerahkan dan memimpin langsung para prajurit TNI untuk memberikan pertolongan maupun bantuan kepada rakyat yang terkena musibah.

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sobat telah berkunjung ke blog ini, mohon agar di perhatikan beberapa point di bawah ini sebelum berkomentar.

1. Berkomentarlah sesuai dengan topik pembahasan postingan.
2. Berkomentarlah dengan bijak dan jangan menggunakan kata2 kasar.
3. Komentar mengandung spam akan di hapus tanpa pemberitahuan.
4. Jangan mencantumkan link hidup pada kolom komentar.
5. Gunakan nama walaupun tidak memiliki website, jangan menggunakan anonymous.
6. Klik subscribe untuk mengetahui balasan komentar.

Terimakasih.

Salam,
D-Boer

Twitter Delicious Facebook Digg Favorites More