Sebuah judul yang cukup naïf tentunya jika dibandingkan dengan kenyataan sekarang ini. Kenyataan bahwa setiap jengkal jalanan dari kota hingga pedesaan dipenuhi dengan berbagai jenis iklan politik berikut beragam atribut yang melengkapinya. Dari baliho hingga poster, dari rontek hingga selebaran, terpasang berebut tempat demi menyita perhatian masyarakat. Mengapa hal tersebut terus terjadi? Apa yang menjadi alasan para politikus sebagai pengiklan maupun para agen iklan (baca: tim sukses) rela menggelontorkan jutaan hingga milyaran rupiah untuk berbelanja iklan politik?
Sudah sejak lama atau lebih tepatnya sejak akhir perang dunia ke II iklan menjadi senjata utama dalam pemasaran. Tentu saja, kita dapat sejenak bersafari menelusuri romantisme suksesnya Coca-cola di masa lalu, misalnya. Betapa iklan pada masa itu mampu meningkatkan penjualan Coca-cola melalui iklan yang ditayangkan secara kilat dan berulang-ulang dalam sebuah bioskop di Amerika serikat pada tahun 1957 dengan peningkatan penjualan sebesar 18%. Karena itulah sampai sekarang iklan masih menjadi pilihan utama dalam sebuah pemasaran. Sama halnya bagi mereka yang terjun dalam dunia politik. Iklan menjadi ujung tombak ‘memasarkan’ dalam konteks politik guna meningkatkan elektabilitas.
Lain dulu lain sekarang. Penggunaan iklan dalam berpolitik yang membutuhkan anggaran belanja yang sangat besar tersebut kini bisa dikatakan sudah tidak efektif lagi. Alasannya, belanja iklan politik yang besar dan hampir pasti terus meningkat tiap tahunnya tersebut masih didukung oleh dua keyakinan dari si pengiklan akan efektifnya teori-teori psikologi yang masih diterapkan dalam dunia iklan. Dua teori yang masih bermain di sana adalah teori persepsi dan persuasi.
Teori persepsi secara umum mengatakan bahwa setiap individu manusia mampu mempersepsi suatu obyek di luar dirinya, yang ditangkapnya melalui indera. Meskipun banyak yang dipersepsi, manusia hanya memberi perhatian pada bagian-bagian yang amat mengesankan bagi dirinya. Dalam psikologi, fenomena ini disebut salience (pembentukan kesan). Hal ini dapat dilihat bagaimana iklan-iklan politik berusaha memberikan citra bagi para calon pemimpin tersebut. Nampak cerdas dengan beragam gelar pada namanya, berbudaya dengan ‘kostum’ daerah yang dikenakan, maupun nampak dekat dengan rakyat melalui pose bersama petani atau nelayan, misalnya.
Teori persuasi, menggambarkan bahwa setiap individu manusia masih punya potensi untuk diyakinkan oleh sesuatu di luar dirinya sehingga ia mengalami perubahan. Beberapa yang terlibat dalam proses persuasi ini adalah komunikator, komunikan, situasi, dan komunikasi persuasif itu sendiri. Contoh yang ada misalnya janji-janji politik yang disampaikan (oleh komunikator) kepada masyarakat (sebagai komunikan) berkenaan akan perbaikan berbagai aspek yang ada sekarang ini (situasi). Adapun kedua teori tersebut dalam praktiknya tampil bersamaan yang dikemas melalui pesan verbal dan visual yang contohnya dapat dengan mudah kita temukan di sepanjang jalan.
Iklan Politik Deterministik
Kekurangan dari dua teori ini adalah terlalu deterministik dan behavioris. Keduanya lupa bahwa manusia masih memiliki kehendak bebas. Dihadapkan pada sesuatu yang persuasif orang tidak akan lagi langsung bereaksi. Bahkan secara mendasar orang masih bisa memilih apakah ia harus percaya maupun tidak iklan tersebut. Keadaan ini terlebih lagi didukung oleh kenyataan yang ada berkenaan dengan keadaan politik di Negara ini. Hal serupa juga disampaikan oleh Sumbo di www.sumbotinarbuko.com dalam tulisannya yang berjudul “Pencitraa Diri dan Elektabilitas”… Dalam era reformasi sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janjai –janji politik yang manis di mulut namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut juga terjadi pada diri kita, sudah menjadi hal yang lumrah sekarang ini bahwa kita enggan untuk memberi perhatian pada iklan baik itu di sepanjang jalan, di televisi, hingga surat kabar. Terlebih lagi pada iklan politik yang tengah marak guna menyambut pesta demokrasi 2014 nanti. Masyarakat cenderung lebih tertarik dengan feature, artikel, laporan kejadian, atau bisa dikatakan segala-sesuatu yang bersifat informatif. Karena itulah, iklan politik sudah tidak efektif lagi dijadikan ujung tombak dalam kampanye politik sekarang ini . PR atau Public Relation-lah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam kampanye politik.
Kembali mengutip pendapat Sumbo dalam tulisan yang sama. “… cara promosi yang paling efektif adalah dari mulut ke mulut.”. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk PR atau publikasi. Memberikan informasi yang sebenarnya bagi target sasaran demi terciptannya sebuah brand atau merk bagi para calon legislatif guna mendukukung elektabilitas. Tentu saja hal ini seperti pisau bermata dua, satu sisi proses PR menuntut informasi yang riil, di sisi lain belum adanya kiprah nyata dari para calon legislatif tersebut akan menimbulkan permasalahan menyangkut kepercayaan dari masyarakat ditambah lagi dengan track record beragam deviasi para politisi yang tengah menjabat sekarang ini.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah iklan sebagai ujung tombak berpolitik dengan anggaran yang sangat besar tersebut perlu mulai digantikan denga PR atau publikasi. Adapun untuk menjadikan publikasi itu sarana yang efektif perlu didukung dengan persiapan jauh sebelum kampanye dilakukan melalui kiprah nyata bagi masyarakat berkenaan dengan brand atau merk yang akan dicitrakan. Adapun iklan itu sendiri masih perlu digunakan sebagai media pendukung yang berfungsi sebagai pengingat saja. Dan semoga belanja iklan yang sangat luar biasa itu dapat digunakan untuk hal lain yang lebih berguna bagi masyarakat. MERDEKA......!!!!!
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sobat telah berkunjung ke blog ini, mohon agar di perhatikan beberapa point di bawah ini sebelum berkomentar.
1. Berkomentarlah sesuai dengan topik pembahasan postingan.
2. Berkomentarlah dengan bijak dan jangan menggunakan kata2 kasar.
3. Komentar mengandung spam akan di hapus tanpa pemberitahuan.
4. Jangan mencantumkan link hidup pada kolom komentar.
5. Gunakan nama walaupun tidak memiliki website, jangan menggunakan anonymous.
6. Klik subscribe untuk mengetahui balasan komentar.
Terimakasih.
Salam,
D-Boer