Manajemen Membahagiakan Perut Rakyat
Sebuah laporan dari World Bank memuat data yang sangat mengejutkan. Yaitu 36% anak Indonesia dibawah usia 5 tahun mengalami pertumbuhan - “stunted growth”, alias tinggi badan-nya dibawah standar rata-rata, alias kate atau kerdil.
Akhir dari Era Iklan Politik
Sebuah judul yang cukup naïf tentunya jika dibandingkan dengan kenyataan sekarang ini. Kenyataan bahwa setiap jengkal jalanan dari kota hingga pedesaan dipenuhi dengan berbagai jenis iklan politik berikut beragam atribut yang melengkapinya.
Caleg Bermasalah Harus Ditolak
Calon legislatif (caleg) bermasalah harus ditolak. Sebab, caleg yang bermasalah berpotensi membuat parlemen tak berkualitas. Walaupun aturan pencalonan tidak secara spesifik mengatur kandidat yang sedang bermasalah dengan kasus hukum.
Minggu, 21 Juli 2013
Manajemen Membahagiakan Perut Rakyat
21.58
Unknown
Sebuah laporan dari World Bank memuat data yang sangat mengejutkan. Yaitu 36% anak Indonesia dibawah usia 5 tahun mengalami pertumbuhan - “stunted growth”, alias tinggi badan-nya dibawah standar rata-rata, alias kate atau kerdil. Angka ini lebih tinggi dibanding Vietnam (23,3%) dan Filipina (32%). Menempatkan Indonesia sejajar dengan negara-negara lebih miskin seperti Myanmar (35%), Kamboja (40,9%) dan Laos (44%).
Celakanya, Indonesia juga punya statistik yang mengejutkan, yaitu anak-anak yang terlampau gemuk tercatat 12,2%. Dan ini sangat tinggi, apabila dibandingkan Malaysia yang hanya 6%. Laporan ini juga mengutip bahwa pada tahun 2002, bayi di Indonesia yang menyusui ASI hingga 6 bulan ada 40%. Tahun 2010 angka tersebut hanya tinggal 15%.
Teman saya yang kebetulan adalah dokter, merasa sangat gusar dengan laporan ini, karena artinya anak-anak Indonesia mengalami masalah gizi berbarengan di dua sisi sekaligus. Disisi yang satu dapat dikatakan anak-anak kita terancam pertumbuhan-nya karena kekurangan gizi. Anak-anak Indonesia yang tinggi badan-nya di bawah standar, akan menimbulkan sejumlah masalah yang kompleks. Bayangkan kita menjadi bangsa yang kerdil alias kate. Sehingga mempengaruhi kemampuan kita dalam memproduksi sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Dan akan sangat sulit misalnya mendapatkan bakat untuk para atlit dimasa-masa mendatang.
Sebaliknya anak-anak kita yang sudah terlalu gemuk semenjak kecil, akan memiliki resiko, yang lebih tinggi terhadap penyakit-penyakit seperti diabetes dan jantung. Sehingga usia mereka cenderung lebih pendek. Mereka juga bakal mendapat sejumlah masalah emosional lain-nya yang cenderung menjadi masalah sosial yang lebih kompleks. Anda mungkin bingung kenapa Indonesia bisa terkena masalah ini dua-duanya sekaligus. Rasanya rada aneh.
Analisanya sangat mudah, namun jarang ada yang memperhatikan. Jumlah penduduk Indonesia konon sudah melebihi 220 juta orang. Lebih dari separuhnya belum berusia 30 tahun. Malah menurut perkiraan ada lebih dari 50 juta pemilih baru dalam pemilu 2014 mendatang. Ini data yang mengerikan, artinya kita punya rakyat dengan usia produktif yang sangat tinggi. Mereka membutuhkan lapangan kerja, perumahan dan layanan sosial lainnya yang sangat banyak. Kenyataan ini menjadi lebih runyam, karena menurut World Bank atau Bank Dunia, Indonesia setelah tahun 2014 punya potensi memiliki masayarakat kelas menengah yang bisa mendekati 150 juta orang. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita di ASEAN, yang sangat jauh dari 50 juta orang kelas menengah. Baik Filipina, Malaysia, Vietnam dan Thailand, semuanya tidak memiliki kemampuan yang sama.
150 juta kelas menengah Indonesia ini, memiliki aspirasi dan kemampuan membeli (purchasing power) yang sangat luar biasa. Namun jangan lupa kita juga memiliki 100 juta masyarakat pedesaan yang kemungkinan tingkat sosial dan kesejahteraan-nya semakin jauh bisa dibanding dengan yang 150 juta kelas menengah ini. Nampaknya jurang sosial yang semakin lebar inilah yang menyebabkan Indonesia memiliki masalah gizi rendah dan gizi berlebih sekaligus. Runyam bukan ?
Banyak kritik yang dilontarkan kepada pemerintah bahwa sudah 10 tahun lebih lamanya ekonomi Indonesia berjalan dengan ‘auto pilot’ - dimana pemerintah tidak berdaya melakukan kebijakan yang berimbas besar kepada ekonomi Indonesia. Akibatnya sebagian rakyat menjadi rakyat kelas menengah karena upaya mereka sendiri. Sedangkan masyarakat pedesaan yang seharusnya ditolong pemerintah untuk diberdayakan dan dimaksimalkan kesejahteraan-nya terbukti dan terlihat terlantar. Sehingga Indonesia memiliki masalah runyam ini.
Bukti lain yang sangat terlihat jelas, adalah dalam 18 bulan terakhir ini, pemerintah membuat berbagai kebijakan dibidang pangan yang sangat populis, karena maklum sudah menjalang pemilu 2014, dan saatnya Pemerintah terlihat memiliki citra untuk membela ‘wong cilik’ dan petani. Kebijakan itu terutama dibidang impor dan pengadaan bahan pangan. Namun apa yang terjadi ? Situasi menjadi kisruh dan runyam. Berturut-turut dan berulang kali kita diterpa krisis pangan. Mulai dari krisis bawang putih, krisis jengkol dan pete, krisis daging hingga krisis cabe dan bawang merah. Dalam beberapa bulan terakhir ini pangan juga memberati tingkat inflasi. Sehingga laju ekonomi Indonesia terguncang dan tersendat-sendat.
Keberpihakan kita jelas adalah 100% bagi petani Indonesia. Ini mutlak dan tidak bisa ditawar. Kita harus membela kepentingan Nasional. Tetapi kebijakan yang diterapkan semestinya memiliki kearifan yang menyeluruh dari perencanaan, hingga pelaksanaan. Bila tidak maka kebijakan yang semestinya membela petani hanya akan menjadi macan kertas saja. Terlihat apik, namun sangat sulit dilaksanakan. Ambil contoh masalah daging sapi. Pemerintah ingin memajukan peternakan sapi dan mensejahterakan perternak dalam negeri. Maka impor daging sapi dibatasi. Terlihat diatas kertas sangat baik. Dan sangat bijak. Namun pembatasan impor daging sapi tersebut sama dengan masalah gizi diawal artikel ini, disama ratakan kebijakan-nya. Padahal industri pariwisata dan industri cafe - restoran kita sedang tumbuh sangat luar biasa. Akibatnya daging impor untuk industri ini melonjak hingga 400 ribu rupiah perkg. Pengusaha menjerit ! Karena harga yang sedemikian tinggi, laba di daging impor juga menjadi menggiurkan. Perijinan impor daging menjadi lahan bisnis tersendiri. Maka meledak-lah kasus korupsi perijinan kouta impor daging dapi. Akhirnya pemerintah sadar juga, maka impor sapi khusus untuk hotel dan resto yang disebut dengan “prime cut beef” dibebaskan dari kouta, namun harus diimpor lewat pelabuhan udara. Yang tentunya akan membuat harga tetap mahal. Sebuah kebijakan yang kelihatan sekali diberlakukan dengan setengah hati.
Sementara situasi daging sapi dipasar domestik tetap ruwet dan runyam. Harga tetap tinggi dan tidak terjangkau. Maka presiden membuat instruksi agar dilakukan impor sapi darurat. Agar tidak terjadi permainan, maka diperintahkan Bulog sebagai pelaksana-nya. Tetap saja runyam, karena instansi terkait baru menggelontorkan ijin, akhir Juni lalu. Karena bulan puasa sudah semakin dekat, terpaksa Bulog mendatangkan daging sapi dengan pesawat terbang. Disamping harganya tetap mahal, jumlah yang bisa diimpor juga terbatas. Situasi belum berubah banyak, harga daging sapi tetap mahal. Masalah bertambah ketika, penjual dipasar menolah menjual daging impor Bulog, karena yang diimpor adalah daging beku. Konsumen hanya mau membeli daging segar.
Situasi runyam, ruwet ini akhirnya membuat pemerintah panik, dan hari ini di koran, diumumkan bahwa kouta daging impor akan dihapus. Contoh diatas menunjukan kebijakan pangan kita yang tambah sulam. Kalau bocor baru ditambal. Masalah pangan nasional sangat ruwet, karena dimulai dari keberpihakan kita terhadap petani Indonesia, hingga kedaulatan dan ketahanan pangan. Namun bagi konsumen persepsinya jauh berbeda, yaitu bagaimana mendapatkan pangan dalam jumlah yang cukup namun harganya sangat ekonomis.
Seorang pejabat yang sangat jujur, mengatakan kepada saya, bahwa salah satu masalahnya, adalah gengsi bangsa. Masa Indonesia, sebuah negara tropis yang sangat subur di Khatulistiwa sangat bergantung pada impor pangan. Secara matematik impor pangan kita sebenarnya sangat kecil. Misalnya saja impor hortikultura hanya sekitar 8% dari total konsumsi nasional. Tetapi lagi-lagi seperti awal dari tulisan ini, yang kita lihat hanya sisi bagus Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang bagus. Lonjakan kelas menengah yang fantastis. Ibarat kita berpakaian, diatas kita pinggang kita berpakaian utuh, dibawah pinggang kita telanjang. Demikian juga yang terjadi impor pangan terlihat sangat ‘high visibility’ kalau kita melihatnya di supermarket dan pusat belanja di mall yang dipenuhi dengan resto dan cafe mewah. Ketika kita menyatukan dua pasar yang berbeda - antara pasar kelas menengah yang bakal 150 juta itu dan pasar pedesaan yang hampir sama jumlahnya, maka penglihatan kita menjadi tidak lagi jelas. Warna menjadi sangat abu-abu.
Seorang pengusaha wanita yang marah pada semua keadaan ini membuat analogi yang sangat menarik. Kata beliau, kalau pemerintah mau melakukan kebijakan yang populis, maka hal yang sama harus diberlakukan disemua bidang, jangan hanya pangan. Misalnya, merek-merek baju yang sangat terkenal diseluruh dunia harus juga diberlakukan kouta dan dibatasi. Masyarakat harus diwajibkan berpakaian lurik dan batik. Mobil-mobil mewah juga harus dibatasi dan diberlakukan kouta. Masyatakat harus diwajibkan hanya membeli mobil Kijang saja. Begitu omelan sang Ibu pengusaha.
Andaikata kita mau merenung dan berpikir arif, ucapan sang Ibu banyak benarnya juga. Batik dan mobil Kijang, tidak pernah terancam dengan impor baju mewah dan impor mobil mewah. Kenapa bisa begitu ? Sederhana jawaban-nya ! Batik dan mobil Kijang tampil sangat menawan, dibeli dan dipakai oleh masyarakat, semata-mata karena dua hal. Pertama produknya makin modis dan kualitasnya semakin baik. Kedua baik batik dan mobil Kijang dipromosikan dengan pemasaran yang baik. Barangkali ini adalah kearifan yang tidak bisa terbantahkan.
Jadi kita bisa belajar dari dua kearifan diatas. Pangan produksi Indonesia, apakah itu daging, buah dan sayur, kalau ingin sukses seperti Batik dan mobil Kijang, harus menempuh jalan yang sama bahwa produknya mesti berkualitas dan memiliki daya saing yang tinggi. Sederhana sebenarnya. Dan harus pula dipromosikan dengan strategi pemasaran yang baik.
Kalau pemerintah tidak membatasi orang untuk berpakaian mewah dan memiliki mobil mewah, rasanya janggal kalau pemerintah membatasi orang untuk makan buah impor dan makan daging impor. Kecintaan konsumen Indonesia terhadap buah dan daging Nusantara, harusnya sama seperti batik, yaitu kita mencintai-nya karena pilihan semata. Bukan karena terpaksa gara-gara tidak ada pilihan lain. Semua peraturan pemerintah yang mempersulit impor pangan dan membuat bahan pangan impor menjadi sangat mahal adalah tindakan tidak adil terhadap kelas menengah Indonesia. Jangan mentang-mentang mereka sanggup membayar, biar saja mereka membayar dengan mahal. Hal ini akan menjadi pemiskinan terhadap kelas menengah.
Secara pribadi saya berharap, pemerintah punya kebijakan pangan yang jangan asal tembak dan asal tambal sulam. Pekerjaan rumah kita sangat banyak. Seharusnya pemerintah punya visi tahun 2020, dimana kedaulatan pangan dan ketahanan pangan kita bertahta dengan pemberdayaan petani dan semangat entrepener petani generasi baru. Saya melihat tantangan visi tahun 2020 akan sangat berat, bukan saja kita harus mampu menyediakan ketersedian pangan yang cukup dan harganya sangat ekonomis, tetapi bagaimana lewat pangan kita bisa mensejahterakan rakyat dengan pangan berkualitas tinggi. Bagaimana kita bisa membuat rakyat sehat lewat pangan. Tidak akan ada lagi gagal nutrisi baik kekurangan gizi dan kelebihan gizi.
Ini praktek manajemen yang sangat ruwet dan sulit. Teman saya menyebutnya sebagai manajemen untuk membahagiakan perut rakyat. Dan seperti praktek manajemen lain-nya, diperlukan tujuan dan visi. Kemampuan merencanakan yang sangat akurat. Pelaksaan yang efektif. Serta pengawasan yang arif. Saya berharap presiden baru kita mendatang akan arif untuk mewujudkan-nya.
Selasa, 09 Juli 2013
Akhir dari Era Iklan Politik
07.31
Unknown
Sebuah judul yang cukup naïf tentunya jika dibandingkan dengan kenyataan sekarang ini. Kenyataan bahwa setiap jengkal jalanan dari kota hingga pedesaan dipenuhi dengan berbagai jenis iklan politik berikut beragam atribut yang melengkapinya. Dari baliho hingga poster, dari rontek hingga selebaran, terpasang berebut tempat demi menyita perhatian masyarakat. Mengapa hal tersebut terus terjadi? Apa yang menjadi alasan para politikus sebagai pengiklan maupun para agen iklan (baca: tim sukses) rela menggelontorkan jutaan hingga milyaran rupiah untuk berbelanja iklan politik?
Sudah sejak lama atau lebih tepatnya sejak akhir perang dunia ke II iklan menjadi senjata utama dalam pemasaran. Tentu saja, kita dapat sejenak bersafari menelusuri romantisme suksesnya Coca-cola di masa lalu, misalnya. Betapa iklan pada masa itu mampu meningkatkan penjualan Coca-cola melalui iklan yang ditayangkan secara kilat dan berulang-ulang dalam sebuah bioskop di Amerika serikat pada tahun 1957 dengan peningkatan penjualan sebesar 18%. Karena itulah sampai sekarang iklan masih menjadi pilihan utama dalam sebuah pemasaran. Sama halnya bagi mereka yang terjun dalam dunia politik. Iklan menjadi ujung tombak ‘memasarkan’ dalam konteks politik guna meningkatkan elektabilitas.
Lain dulu lain sekarang. Penggunaan iklan dalam berpolitik yang membutuhkan anggaran belanja yang sangat besar tersebut kini bisa dikatakan sudah tidak efektif lagi. Alasannya, belanja iklan politik yang besar dan hampir pasti terus meningkat tiap tahunnya tersebut masih didukung oleh dua keyakinan dari si pengiklan akan efektifnya teori-teori psikologi yang masih diterapkan dalam dunia iklan. Dua teori yang masih bermain di sana adalah teori persepsi dan persuasi.
Teori persepsi secara umum mengatakan bahwa setiap individu manusia mampu mempersepsi suatu obyek di luar dirinya, yang ditangkapnya melalui indera. Meskipun banyak yang dipersepsi, manusia hanya memberi perhatian pada bagian-bagian yang amat mengesankan bagi dirinya. Dalam psikologi, fenomena ini disebut salience (pembentukan kesan). Hal ini dapat dilihat bagaimana iklan-iklan politik berusaha memberikan citra bagi para calon pemimpin tersebut. Nampak cerdas dengan beragam gelar pada namanya, berbudaya dengan ‘kostum’ daerah yang dikenakan, maupun nampak dekat dengan rakyat melalui pose bersama petani atau nelayan, misalnya.
Teori persuasi, menggambarkan bahwa setiap individu manusia masih punya potensi untuk diyakinkan oleh sesuatu di luar dirinya sehingga ia mengalami perubahan. Beberapa yang terlibat dalam proses persuasi ini adalah komunikator, komunikan, situasi, dan komunikasi persuasif itu sendiri. Contoh yang ada misalnya janji-janji politik yang disampaikan (oleh komunikator) kepada masyarakat (sebagai komunikan) berkenaan akan perbaikan berbagai aspek yang ada sekarang ini (situasi). Adapun kedua teori tersebut dalam praktiknya tampil bersamaan yang dikemas melalui pesan verbal dan visual yang contohnya dapat dengan mudah kita temukan di sepanjang jalan.
Iklan Politik Deterministik
Kekurangan dari dua teori ini adalah terlalu deterministik dan behavioris. Keduanya lupa bahwa manusia masih memiliki kehendak bebas. Dihadapkan pada sesuatu yang persuasif orang tidak akan lagi langsung bereaksi. Bahkan secara mendasar orang masih bisa memilih apakah ia harus percaya maupun tidak iklan tersebut. Keadaan ini terlebih lagi didukung oleh kenyataan yang ada berkenaan dengan keadaan politik di Negara ini. Hal serupa juga disampaikan oleh Sumbo di www.sumbotinarbuko.com dalam tulisannya yang berjudul “Pencitraa Diri dan Elektabilitas”… Dalam era reformasi sekarang ini, masyarakat secara terbuka tidak akan terpengaruh oleh janjai –janji politik yang manis di mulut namun pahit dalam kenyataan kehidupan sehari-hari.
Hal tersebut juga terjadi pada diri kita, sudah menjadi hal yang lumrah sekarang ini bahwa kita enggan untuk memberi perhatian pada iklan baik itu di sepanjang jalan, di televisi, hingga surat kabar. Terlebih lagi pada iklan politik yang tengah marak guna menyambut pesta demokrasi 2014 nanti. Masyarakat cenderung lebih tertarik dengan feature, artikel, laporan kejadian, atau bisa dikatakan segala-sesuatu yang bersifat informatif. Karena itulah, iklan politik sudah tidak efektif lagi dijadikan ujung tombak dalam kampanye politik sekarang ini . PR atau Public Relation-lah yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam kampanye politik.
Kembali mengutip pendapat Sumbo dalam tulisan yang sama. “… cara promosi yang paling efektif adalah dari mulut ke mulut.”. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk PR atau publikasi. Memberikan informasi yang sebenarnya bagi target sasaran demi terciptannya sebuah brand atau merk bagi para calon legislatif guna mendukukung elektabilitas. Tentu saja hal ini seperti pisau bermata dua, satu sisi proses PR menuntut informasi yang riil, di sisi lain belum adanya kiprah nyata dari para calon legislatif tersebut akan menimbulkan permasalahan menyangkut kepercayaan dari masyarakat ditambah lagi dengan track record beragam deviasi para politisi yang tengah menjabat sekarang ini.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan ini adalah iklan sebagai ujung tombak berpolitik dengan anggaran yang sangat besar tersebut perlu mulai digantikan denga PR atau publikasi. Adapun untuk menjadikan publikasi itu sarana yang efektif perlu didukung dengan persiapan jauh sebelum kampanye dilakukan melalui kiprah nyata bagi masyarakat berkenaan dengan brand atau merk yang akan dicitrakan. Adapun iklan itu sendiri masih perlu digunakan sebagai media pendukung yang berfungsi sebagai pengingat saja. Dan semoga belanja iklan yang sangat luar biasa itu dapat digunakan untuk hal lain yang lebih berguna bagi masyarakat. MERDEKA......!!!!!
Senin, 01 Juli 2013
Bom Helium, Kedok Amerika Dibalik Tragedi Tsunami Aceh Terbongkar
02.15
Unknown
Bom Helium, Kedok Amerika Dibalik Tragedi Tsunami Aceh Terbongkar
Mungkin ini berita lama tapi saya tertarik untuk mengulasnya lagi mengingat banyaknya kerusuhan yang melanda negera2 islam di dunia. Misteri rahasia tsunami di Aceh.
Dulu Presiden Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), DR Eggi Sudjana SH Msi mensinyalir, bahwa bencana yang menimpa NAD dan sekitarnya bukanlah gempa dan gelombang tsunami yang sesungguhnya. Akan tetapi sebuah gelombang bom termonuklir yang sengaja diledakkan di bawah laut.
Pendapat Eggi tersebut dikemukakan kepada Wawasan, usai dialog menyoal seratus hari pemerintahan SBY, di kantor pengacara Taufik SH di Solo. “Melalui pendapat dan analisa yang dikemukakan pakar nuklir independen asal Australia Joe Vialls, saya sepakat, bahwa ada indikasi kuat Amerika dengan dua kapal perangnya satu diantaranya bernama USS Abraham Lincoln, berada di balik tragedi itu,” katanya.
Menurut Eggi, sebelum terjadi bencana itu, Amerika telah mengeluarkan travel warning kepada warganya agar tidak berkunjung ke Indonesia. Sementara masuknya kapal induk asing, cukup mengundang pertanyaan, kenapa diperbolehkan oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, Jakarta tahu benar akan keberadaan kapal asing di perairan kita.
“Ada temuan kejanggalan lagi, CNN selama ini memberitakan bahwa pusat gempa terjadi di dekat pulau We. Sementara yang terjadi sesungguhnya di dekat pulau Nias dengan kekuatan gempa hanya 5,4 skala richter. Namun yang terjadi adalah sebuah gelombang susulan dengan kekuatan yang lebih dahsyat. Ironisnya, perusahaan AS Exxon yang ada di sana, luput dari bencana itu. Sehingga ada dugaan keras, ada senjata pemusnah massal yang diarahkan ke sana,” paparnya.
Usai kejadian itu, lanjut dia, tentara AS di kapal induk USS Abraham Lincoln yang jumlahnya 15.600 personil langsung diterjunkan. Sementara Kopassus dan Pasukan Reaksi Cepat (PRC), yang fungsinya sebagai penanggulangan bencana sama sekali tak diturunkan. Sementara India, Srilanka dan Thailand menolak kehadiran tentara asing itu. Televisi Al Jazeera pernah menyiarkan, bahwa bencana di Aceh bukanlah akibat gelombang tsunami. Akan tetapi sebuah bom helium yang bersifat halus namun mematikan.
“Kami menduga India memang sudah tahu akan adanya bencana itu. Karena negara itu justru punya pencatat gempa, yang bisa membedakan mana gempa sungguhan dan mana gempa buatan. Di India di Tamil Nadu, merupakan pusat nuklir. Sehingga sudah terdeteksi dulu.”
Menurut Eggi, Joe Vialls tahu benar senjata termonuklir yang diledakkan di bawah laut akan menimbulkan gelombang dahsyat. Sementara jika tsunami, ketinggian gelombang maksimal, tidak akan mencapai seperti yang terjadi di Aceh. “Sejarah juga mencatat, selamanya tsunami tidak berdampak membakar korbannya, karena air. Namun sempat ditemukan tiga orang anak nelayan Aceh yang terbakar dengan tubuh penuh oli.”
Disinggung rencana besar apa di balik itu, Eggi mengatakan, AS ingin menjadikan pangkalan militernya di Aceh. Hal itu dikuatkan dengan ditolaknya percepatan militer itu untuk segera mengakhiri bantuannya di sana. Aceh juga akan dijadikan jaringan pasar bebas perdagangan AS. “Dalam kontek ini, SBY lemah, intelijen kita juga lemah. Apalagi TNI,” jelasnya.
Nah gimana menurut teman2 apa tsunami aceh itu mutlak bencana alam atau memang ada Negara adikuasa yang merancang semuannya.
Seperti keadaan sekarang, beberapa negara Islam di timur tengah bisa mendadak kacau secara bersamaan. apakah mungkin rakyat ingin demokrasi ataukah ada Negara adi kuasa yang mengatur semuanya..